Header Ads

Sholat Ied


HUKUM SHOLAT IEDAIN (IEDUL FITRI DAN ADHA)




A. HUKUM SHOLAT IED
HADITS :

a. Wajibnya Sholat Ied bagi Perempuan bahkan yang Haid sekalipun

عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ: أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُوْرِ، فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاَةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِيْنَ. قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِحْدَانَا لاَ يَكُوْنُ لَهَا جِلْبَابٌ؟ قَالَ: لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا


Dari Ummu ‘Athiyyah ia mengatakan: "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mengajak keluar (kaum wanita) pada (hari raya) Idul Fitri dan Idul Adha yaitu gadis-gadis, wanita yang haid, dan wanita-wanita yang dipingit. Adapun yang haid maka dia menjauhi tempat shalat dan ikut menyaksikan kebaikan dan dakwah muslimin". Aku berkata : “Wahai Rasulullah, salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab?” Nabi menjawab: “Hendaknya saudaranya meminjamkan jilbabnya.”
(Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim, ini lafadz Muslim Kitabul ‘Idain Bab Dzikru Ibahati Khurujinnisa).

dari Ummu Athiyyah Radhiyallahu ‘anha:

أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَ فِيْ عِيْدَيْنِ العَوَاطِقَ وَالْحُيَّضَ لِيَشْهَدْناَ الخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَتَعْتَزِلَ الْحُيَّضُ الْمُصَلِّى

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menyuruh kami keluar menghadiri shalat ‘Ied bersama budak-budak perempuan dan perempuan-perempuan yang sedang haid untuk menyaksikan kebaikan-kebaikan dan mendengarkan khuthbah. Dan bagi wanita yang sedang haid disuruh menjauhi tempat shalat.” (HR. Bukhari: 313, Muslim: 1475)

يَا رَسُوْلَ اللهِ لاَ تَجِدُ إِحْدَنَا جِلْبَابًا تَخْرُجُ فِيْهِ فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا

“Wahai Rasulullah, di antara kami ada yang tidak mempunyai jilbab.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata: “Hendaklah saudaranya memberikan (meminjamkan) jilbab kepadanya.” (HR. Ahmad: 19863).

Hadits dari Ummu ‘Athiyah, beliau berkata,

أَمَرَنَا – تَعْنِى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- – أَنْ نُخْرِجَ فِى الْعِيدَيْنِ الْعَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ وَأَمَرَ الْحُيَّضَ أَنْ يَعْتَزِلْنَ مُصَلَّى الْمُسْلِمِينَ.


“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami pada saat shalat ‘ied (Idul Fithri ataupun Idul Adha) agar mengeluarkan para gadis (yang baru beanjak dewasa) dan wanita yang dipingit, begitu pula wanita yang sedang haidh. Namun beliau memerintahkan pada wanita yang sedang haidh untuk menjauhi tempat shalat.”
(HR. Muslim  no. 890, dari Muhammad, dari Ummu ‘Athiyah)


"Beliau menyuruh wanita-wanita yang haid agar menjauhi shalat dan menyaksikan kebaikan serta dakwah kaum muslimin. Bahkan beliau menyuruh wanita yang tidak memiliki jilbab agar dipinjamkan oleh saudaranya".
(Telah tsabit semua ini dalam hadits Ummu Athiyah yang dikeluarkan oleh Bukhari (324, 352, 971, 974, 980, 981 dan 1652). Muslim (890), Tirmidzi (539), An-Nasaa’i (3/180) Ibnu Majah (1307) dan Ahmad (5/84 dan 85).).


Dari Ummu ‘Athiyah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Kami diperintahkan untuk mengeluarkan para gadis dan wanita yang sedang dalam pingitan (untuk menghadiri shalat ‘Id).
Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/463 no. 974)], Shahiih Muslim (II/605 no. 890), Sunan Abu Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/487 no. 1124), Sunan at-Tirmidzi (II/25 no. 537), Sunan Ibnu Majah (I/414 no. 1307), dan Sunan an-Nasa-i (III/180).
(*). Suatu tempat di Bashrah. Lihat Mu’jamul Buldaan,-ed.

Dari Hafshah binti Sirin, dia berkata, “Dahulu, ketika hari raya, kami pernah melarang gadis-gadis kami keluar. Kemudian datanglah seorang wanita yang singgah di istana Bani Khalaf.(*) Aku pun lantas mendatanginya. Dia bercerita bahwa suami saudarinya pernah ikut perang bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak dua belas kali peperangan. Saudarinya juga pernah menyertainya berperang sebanyak enam kali peperangan. Dia berkata,”Kami mengurusi orang-orang yang sakit dan mengobati orang-orang yang terluka.” Dia berkata lagi,”Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bolehkah salah seorang di antara kami tidak keluar jika tidak memiliki jilbab?” Beliau bersabda, “Hendaklah saudarinya memakaikan jilbab kepadanya. Kemudian hendaklah mereka menyaksikan kebaikan dan do’a orang-orang yang beriman.
Muttafaq ‘alaihi: [Al-Misykaah (no. 1431)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/469 no. 980).

b. Rosululloh sholallohu'alaihiwassalam tidak pernah meninggalkan sholat Iedain

“Ketahuilah bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus-menerus mengerjakan dua shalat Id ini dan tidak pernah meninggalkan satu kalipun. Dan beliau memerintahkan manusia untuk keluar mengerjakannya, hingga menyuruh wanita-wanita yang merdeka, gadis-gadis pingitan dan wanita haid". Al-Allamah Asy Syaukani dalam “Sailul Jarar” (1/315) (Hasan Khan dalam “Al-Mau’idhah Al-Hasanah” 42-43) .

c. Hubungannya dengan Sholat Lain (sholat Jum'at)
Sholat Ied dapat merukhsoh kewajiban sholat Jum'at, diluar perbedaan pendapat atra wajib bagi mukim dan rukhsoh bagi musafir.
(Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya : “ Telah berkumpul pada hari kalian ini dua hari raya. Barangsiapa yang ingin (melaksanakan shalat Id) maka dia telah tercukupi dari shalat Jum’at”
[Diriwayatkan Abu Daud (1073) dan Ibnu Majah (1311) dan sanadnya hasan. Lihat “Al-Mughni” (2/358) dan “Majmu Al-Fatawa” (24/212)].

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، عَنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ : قَدِ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ ، فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ ، وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ
Dari Abu Hurairah RA, dari Rasulullah Saw sesungguhnya beliau bersabda : “Dua Ied telah bersatu dalam hari kalian, maka siapa yang berkehendak (setelah salat Ied tidak melaksanakan Jumat) maka mencukupi kewajiban Jumatnya, akan tetapi kami melaksanakan Jumat".
(H.R. Abi Dawud, Sunan Abu Dawud, 1/281).
     Imam Shana’ani, dan Shidiq Hasan Khan dalam “Ar-Raudhah An-Nadiyah” menambahkan bahwa apabila (hari) ‘Ied dan Jum’at bertemu, maka (hari) ‘Ied menggugurkan kewajiban shalat Jum’at. Padahal shalat Jum’at adalah wajib, tidak ada yang bisa menggugurkan kewajiban ini melainkan yang menggugurkannya pasti merupakan perkara yang wajib. [Subul as-Salam II/141].

d) Kesimpulam
     Telah diketahui bahwa hukum sholat Jum'at adalah Fardhu. Namun banyak yang masih ragu tentang hukum sholat Iedain (Fitri dan Adha). mari kita analisa biar mendapat keyakinan.
  1. Hukum sholat Jum'at adalah Fardhu
  2. Sholat Iedain bisa menggugurkan kewajiban sholat Jum'at (rukhsoh jika bertepatan dihari yang sama)
  3. Artinya level sholat Iedain minimal harus setara sholat Jum'at
  4. Jika mengatakan sholat Jum'at hukumnya fardhu maka harus berani mengatakan sholat Iedain Fardhu hukumnya.
  5. Sebaliknya jika mengatakan hukum sholat Ied sunah maka menyatakan juga hukum sholat Jum'at itu sunnah (karena yang bisa merukhsoh sholat Wajib hanyalah sholat Wajib, sholat sunnah tidak bisa merukhsoh sholat wajib).
  6. Dan janganlah mengatakan "Sholat Ied hukumnya sunnah, karena Ied sunnah maka tidak bisa merukhsoh yang wajib (Jum'at). sehingga jika Ied jatuh pada hari jum'at maka sholat Jum'at tetap wajib" (ini adalah pendapat dan analisa yang terbalik tolong hati - hati).
  7. Bukankah yang benar hukum sholat Ied itu wajib, karena sholat Ied adalah perintah yang Rosululloh SAW. tidak pernah sekalipun meninggalkannya, dan karena sholat Ied bisa merukhsoh kewajiban sholat Jum'at.
  8. Selain itu wanita yang haid saja diwajibkan datang kepada Jamaah sholat Iedain, apalagi sholatnya (bagi Laki - laki dan perempuan yang suci) ?
Analisa simple :

  • Hukum sholat Lima (Subuh, Dhuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya) = SATU JENIS/RUMPUN/HIMPUNAN hukumnya Wajib semua setiap hari
  • Hukum sholat Ied (Fitri, Adha, dan Jum'at) = (Sunnah muakad, sunnah muakad, fardhu) = SATU JENIS/RUMPUN/HIMPUNAN aneh.... ga sama hukumnya (Kok Bisa?)

PENDAPAT YANG MENYATAKAN HUKUM SHOLAT IEDAIN ADALAH FARDHU :

      Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Pendapat yang menyatakan bahwa hukum shalat ‘ied adalah wajib bagi setiap muslim lebih kuat daripada yang menyatakan bahwa hukumnya adalah fardhu kifayah (wajib bagi sebagian orang saja). Adapun pendapat yang mengatakan bahwa hukum shalat ‘ied adalah sunnah (dianjurkan, bukan wajib), ini adalah pendapat yang lemah. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memerintahkan untuk melakukan shalat ini. Lalu beliau sendiri dan para khulafaur rosyidin (Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali, -pen), begitu pula kaum muslimin setelah mereka terus menerus melakukan shalat ‘ied. Dan tidak dikenal sama sekali kalau ada di satu negeri Islam ada yang meninggalkan shalat ‘ied. Shalat ‘ied adalah salah satu syi’ar Islam yang terbesar. … Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberi keringanan bagi wanita untuk meninggalkan shalat ‘ied, lantas bagaimana lagi dengan kaum pria?”
(Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 24/183, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H.)

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah :
“Kami menguatkan pendapat bahwa shalat Ied hukumnya wajib bagi setiap individu (fardlu ‘ain), sebagaimana ucapan Abu Hanifah[Hasyiyah Ibnu Abidin 2/166 dan sesudahnya] dan selainnya. Hal ini juga merupakan salah satu dari pendapatnya Imam Syafi’i dan salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Imam Ahmad.

Berkata Al-Allamah Asy Syaukani dalam “Sailul Jarar” (1/315).[ Shiddiq Hasan Khan dalam “Al-Mau’idhah Al-Hasanah” 42-43]
Ketahuilah bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus mengerjakan dua shalat Id ini dan tidak pernah meninggalkan satu kalipun. Dan beliau memerintahkan manusia untuk keluar mengerjakannya, hingga menyuruh wanita-wanita yang merdeka, gadis-gadis pingitan dan wanita haid. Beliau menyuruh wanita-wanita yang haid agar menjauhi shalat dan menyaksikan kebaikan serta dakwah kaum muslimin. Bahkan beliau menyuruh wanita yang tidak memiliki jilbab agar dipinjamkan oleh saudaranya.[ Telah tsabit semua ini dalam hadits Ummu Athiyah yang dikeluarkan oleh Bukhari (324), (352), (971), (974), (980), (981) dan (1652). Muslim (890), Tirmidzi (539), An-Nasaa’i (3/180) Ibnu Majah (1307) dan Ahmad (5/84 dan 85).] Semua ini menunjukkan bahwa shalat Ied hukumnya wajib dengan kewajiban yang ditekankan atas setiap individu bukan fardhu kifayah. Perintah untuk keluar (pada saat Id) mengharuskan perintah untuk shalat bagi orang yang tidak memiliki uzur. Inilah sebenarnya inti dari ucapan Rasul, karena keluar ke tanah lapang merupakan perantara terlaksananya shalat. Maka wajibnya perantara mengharuskan wajibnya tujuan dan dalam hal ini kaum pria tentunya lebih diutamakan daripada wanita”.
Kemudian beliau Rahimahullah berkata :

Diantara dalil yang menunjukkan wajibnya shalat Ied adalah : Shalat Ied dapat menggugurkan kewajiban shalat Jum’at apabila bertetapan waktunya (yakni hari Ied jatuh pada hari Jum’at -pen)[ Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah -tatkala bertemu hari Id dengan hai Jum’at- Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : (1 hadits) “Artinya : Telah berkumpul pada hari kalian ini dua hari raya. Barangsiapa yang ingin (melaksanakan shalat Id) maka dia telah tercukupi dari shalat Jum’at ….” [Diriwayatkan Abu Daud (1073) dan Ibnu Majah (1311) dan sanadnya hasan. Lihat “Al-Mughni” (2/358) dan “Majmu Al-Fatawa” (24/212).]. Sesuatu yang tidak wajib tidak mungkin dapat menggugurkan sesuatu yang wajib. Dan sungguh telah jelas bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus melaksanakannya secara berjama’ah sejak disyari’atkannya sampai beliau meninggal. Dan beliau menggandengkan kelaziman ini dengan perintah beliau kepada manusia agar mereka keluar ke tanah lapang untuk melaksanakan shalat Ied”[ Telah lewat penyebutan dalilnya. Lihat “Nailul Authar” (3/382-383) dan “Ar-Raudlah An-Nadiyah” (1/142).]

"Diantara dalil yang menunjukkan wajibnya Shalat Id adalah bahwa Shalat Id menggugurkan Shalat Jum’at bila keduanya bertepatan dalam satu hari. Dan sesuatu yang tidak wajib tidak mungkin menggugurkan suatu kewajiban.”
(Ar-Raudhatun Nadiyyah, 1/380 dengan At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah. Lihat pula lebih rinci dalam Majmu’ Fatawa, 24/179-186, As-Sailul Jarrar, 1/315, Tamamul Minnah, hal. 344).

Berkata Syaikh Al-Albani dalam “Tamamul Minnah, hlm. 344” setelah menyebutkan hadits Ummu Athiyah :
“Maka perintah yang disebutkan menunjukkan wajib. Jika diwajibkan keluar (ke tanah lapang) berarti diwajibkan shalat lebih utama sebagaimana hal ini jelas, tidak tersembunyi. Maka yang benar hukumnya wajib tidak sekedar sunnah”

Al-Imam Asy-Syafi’I mengatakan dalam Mukhtashar Al-Muzani: “Barangsiapa memiliki kewajiban untuk mengerjakan Shalat Jum’at, wajib baginya untuk menghadiri shalat 2 hari raya. Dan ini tegas bahwa hal itu wajib ‘ain.” (Diringkas dari Fathul Bari Ibnu Rajab, 6/75-76)

Shiddiq Hasan Khan berkata: “Perintah untuk keluar berarti perintah untuk shalat bagi yang tidak punya udzur. Karena keluarnya (ke tempat shalat) merupakan sarana untuk shalat dan wajibnya sarana tersebut berkonsekuensi wajibnya yang diberi sarana (yakni shalat)".

"Sesuatu yang tidak wajib tidak mungkin dapat menggugurkan sesuatu yang wajib. Dan sungguh telah jelas bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus melaksanakannya secara berjama’ah sejak disyari’atkannya sampai beliau meninggal. Dan beliau menggandengkan kelaziman ini dengan perintah beliau kepada manusia agar mereka keluar ke tanah lapang untuk melaksanakan shalat Id” (Telah lewat penyebutan dalilnya. Lihat “Nailul Authar” (3/382-383) dan “Ar-Raudlah An-Nadiyah” (1/142).)

Sedangkan pendapat yang menyatakan bahwa shalat Id hukumnya fardhu kifayah adalah pendapat yang tidak jelas. [Majmu Fatawa 23/161]

Di antara alasan wajibnya shalat ‘ied dikemukakan oleh Shidiq Hasan Khon (murid Asy Syaukani).
Pertama: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus melakukannya.
Kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah kaum muslimin untuk keluar rumah untuk menunaikan shalat ‘ied. Perintah untuk keluar rumah menunjukkan perintah untuk melaksanakan shalat ‘ied itu sendiri bagi orang yang tidak punya udzur. Di sini dikatakan wajib karena keluar rumah merupakan wasilah (jalan) menuju shalat. Jika wasilahnya saja diwajibkan, maka tujuannya (yaitu shalat) otomatis juga wajib.
Ketiga: Ada perintah dalam Al Qur’an yang menunjukkan wajibnya shalat ‘ied yaitu firman Allah Ta’ala,

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Dirikanlah shalat dan berqurbanlah (an nahr).” (QS. Al Kautsar: 2).
Maksud ayat ini adalah perintah untuk melaksanakan shalat ‘ied Adha (Kurban).

Keempat: Shalat jum’at menjadi gugur bagi orang yang telah melaksanakan shalat ‘ied jika kedua shalat tersebut bertemu pada hari ‘ied. Padahal sesuatu yang wajib hanya boleh digugurkan dengan yang wajib pula. Jika shalat jum’at itu wajib, demikian halnya dengan shalat ‘ied.
[Demikian penjelasan Shidiq Hasan Khon yang kami sarikan-. dari Ar Roudhotun Nadiyah Syarh Ad Durorul Bahiyyah, 1/202, Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, 1422 H.]
KAIDAH FIKIH:
Perlu dipahami dalam Kaidah Fiqih hukum asal Amar (perintah) apapun itu bentuknya adalah wajib, permasalahan menjadi sunnah mubah dan haram akan dijelaskan melalui hadits yang menerangkan hal itu. Ini berlaku juga untuk hukum sholat Ied.

Perintah sholat Iedain bahkan tertera dalam Al Qur'an :
Iedul Fitri
Artinya : "Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku". (QS: Al-Baqarah 2: 43).





Artinya : "Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat . Dan kebaikan apa saja kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan". (QS: Al-Baqarah 2: 110).

Maksud ayat ini adalah perintah untuk melaksanakan shalat ‘iedul Fitri (Zakat Fitrah)

Iedul Adha

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Dirikanlah shalat dan berqurbanlah (an nahr).” (QS. Al Kautsar: 2).
Maksud ayat ini adalah perintah untuk melaksanakan shalat ‘iedul Adha (Qurban)

      Dan dari keterangan bahwa Rosululloh SAW. tidak pernah sekalipun meninggalkan sholat Iedain. Kalau fi'liyah Rosululloh SAW (dan semua hadits menjelaskan demikian) tidak pernah meninggalkannya, bukankah hal itu menjadi kewajiban. (Al Qur'an Memerintahkan dan Hadits juga tidak meninggalkan). Namun kenapa hanya sampai Sunnah Muakkad (sunnah yang mendekati wajib), tidak berani mengatakan wajib.
      Hal tersebut kemungkinan karena menganggap shalat wajib yang harus dikerjakan sehari semalam tidak boleh kurang / lebih dari 5x. Jika menyatakan hukum sholat Iedain adalah Fardhu mungkin takut jumlah sholat akan ada 6x sholat. (Lupa kalau dia sholat Jenazah itu juga tetap bisa 6x sholat wajib). Inilah salah satu fungsi dari pemahaman sholat Lima.
  1. Hukum asal Perintah adalah WAJIB, kecuali ada keterangan (dalil) yang menunjukkan hukum selanjutnya. Sesuai syariat, secara hukum asal sholat Ied merupakan sholat yang wajib hukumnya, jika mengatakan sunnah maka harus ada / menunjukkan dalil keterangan.
  2. Keterangan yang ada adalah Rosululloh SAW. tidak pernah meninggalkannya, Wajibnya Wanita haid untuk menghadiri jamaah sholat Ied, Jika sholat Ied jatuh pada hari Jum'at, sholat Ied bisa merukhsoh kewajiban sholat Jum'at (yang wajib menjadi sunnah) dengan syarat ketentuan tertentu.
  3. maka dari sini hukum sholat Ied adalah Fardhu Ain (fardhu setiap kepala)
Tetapi jika menganggap hukum sholat Ied adalah sunnah karena anggapan jika sholat Ied wajib maka akan ada 6x sholat hari itu, sehingga hukumnya harus sunnah menurut kajian ini adalah lemah.


No comments

Powered by Blogger.